Saat ini, facebook telah menjadi keseharian bagi sebagian orang Indonesia. Namun disaat yang sama banyak orang khawatir dengan dampak yang ditimbulkan facebook. Ada banyak kejadian negatif yang semuanya timbul karena penyalahgunaan situs jejaring sosial terpopuler ini. Facebook menjadi tersangka dari maraknya kejahatan seperti penculikan, penipuan, pelacuran hingga pencemaran nama baik.
Namun terselip kabar bahagia, pada beberapa pekan lalu, kedubes Amerika Serikat di Indonesia mengadakan sayembara pencinta Obama lewat Facebook. Situs Facebook Pecinta Obama ini sekaligus menjadi media online resmi untuk meyediakan berbagai informasi tentang kedatangan Obama di Indonesia maret nanti. Hal semacam itu sesungguhnya pernah Obama lakukan dengan memanfaatkan situs jejaring sosial ini sebagai alat kampanyenya di pemilihan Presiden Amerika 2008 lalu. Facebook berhasil memenangkannya sebagai Presiden. Kelatahanpun terjadi di Indonesia. Banyak politisi memanfaatkan facebook sebagai media kampanye mereka di Pemilu 2009 lalu dan juga berhasil.
Facebookpun telah memberikan jasa besar bagi perkembangan demokratisasi di Indonesia. Kita tidak mungkin lupa bagaimana perjuangan Prita Mulya Sari yang dibangun para netter menghantam ketidakadilan hukum di dunia nyata. Istilah cicak dan buaya menjadi terkenal didunia maya dan memunculkan Bibit-Chandra sebagai aktor utama dalam gerakan massif facebooker mendukung perjuangan gerakan anti-korupsi dan kriminalisasi KPK.
Bagi saya, inilah potensi besar Facebook dan beberapa situs jejaring sosial lainnya yang tidak pernah dilirik banyak orang dalam bidang kepemerintahan khususnya penyelenggaraan e-government dan kebijakan publik di Indonesia. Sedikit para pelayanan publik memanfaatkan facebook untuk melayani dan mendekatkan diri pada masyarakat. Facebook hanya digunakan untuk mengobrol, tempat curhat, update status, dan ajang narsisme diri.
Padahal potensi besar Facebook ini mengingatkan pada praktek e-government di Indonesia yang masih jalan ditempat karena berbagai alasan. Dana yang besar untuk membangun infra dan suprastruktur hingga keterbatasan sumber daya manusia. Bagi saya, e-government sesungguhnya tidak perlu rumit dan mahal. Faktor terpenting dalam menjalankan pemerintahan di abad ini adalah kreatif, inovatif dan berfikir efektif serta efisien. Untuk menciptakan partisipasi masyarakat yang begitu massif sesungguhnya tidak membutuhkan biaya mahal. Manfaatkan teknologi yang ada, lihat teknologi apa yang berkembang di masyarakat dan ikutilah arus mereka (masyarakat). Facebook menjawab itu semuanya.
Partisipasi Publik Lewat E-cognocracy
Teknologi Web 2.0 sudah memudahkan pemerintah di Indonesia untuk mengembangkan e-government menjadi lebih mudah dan murah. Lebih memudahkan pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakatnya. Kebijakan publik dengan cara melibatkan masyarakat banyak dalam proses pembuatan keputusan dapat dilakukan melalui media situs jejaring sosial, dimana salah satunya adalah dengan memanfaatkan facebook.
Kondisi inilah yang disebut Piles, dkk (2006) serta Jimenez (2006) sebagai e-cognocracy. E-cognoracy adalah sistem demokrasi terbaru yang berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan di masyarakat yang terkait dengan bagaimana kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara ilmiah sehingga pembuatan keputusan publik dapat dilakukan dengan baik. E-cognocracy menawarkan formulasi khusus untuk menciptakan partisipasi warga Negara (citizen) dalam proses pembuatan keputusan dengan pendekatan Multi-criteria Decision Making.
E-cognocracy adalah sistem demokratisasi terbaru yang bekerja untuk menciptakan peradaban baru yang lebih terbuka, transparan, dan masyarakat yang bebas. Pada waktu yang sama, setiap warga negara saling terkait dan saling terhubung dalam kondisi yang penuh partisipasi, seimbang, saling peduli dan membutuhkan.
E-Cognocracy merupakan jawaban bagi keterbatasan demokrasi tradisional. E-Cognocracy tidak saja menyediakan ruang untuk keterlibatan masyarakat secara luas didalam pemerintahan tapi juga fokus pada proses dimana pengetahuan masyarakat berelasi dengan pemecahan masalah secara ilmiah. E-cognocracy sebagai katalisator proses belajar bersama untuk menciptakan kesadaran (kognisi) politik masyarakat dalam kehidupan bersama, dan internet adalah alat komunikasi pendukungnya.
E-cognocracy adalah kombinasi dari tiga ranah ilmiah yaitu demokrasi sebagai bagian kajian teori politik, teori pengambilan keputusan dan penggunaan ICT sebagai alat komunikasi dan mengkolaborasikan antar stakeholder.
E-Cognocracy mempertemukan model demokrasi representatif - dimana aktornya adalah para politisi yang ada dalam partai politik - dengan model demokrasi langsung dimana setiap warga negara berpartisipasi langsung dalam proses politik.
Masa depan E-cognocracy di Indonesia
Masyarakat maya di Indonesia merupakan masyarakat kritis yang sesungguhnya mempunyai kekuatan besar dalam menciptakan arus demokratisasi di Indonesia. E-cognocracy sebagai demokrasi digital mempunyai peran penting dalam berjalannya praktek kebijakan publik dan pemerintahan yang baik (good governance). E-cognocracy dapat mensejajarkan masyarakat dalam posisi yang seimbang dengan aktor politik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Masyarakat kritis dan saling berbagi sangat diperlukan dalam e-cognocracy. Ada banyak asupan ide sekaligus kritik bagai proses kebijakan publik berkualitas. Ada kesamaan hak disana dan kedudukan yang egaliter diantar warga negara. Facebook bukan lagi milik politisi, artis, mahasiswa dan para eksekutif muda, tapi juga tukang ojek, tukang jamu hingga pembantu rumah tangga.
Mereka dapat mengakses facebook lewat telpon genggamnya. Disitupula potensi demokrasi digital tumbuh dan berkembang untuk memaksa kebijakan publik lebih representatif dan partisipatif. Pemerintah-lah kemudian menjadi jembatan penghubungan bagi semuanya dan situs jejaring sosial semacam facebook-lah sebagai alat penghubung dan pengumpul aspirasi yang paling murah.
Contoh terbaru dan sederhana dari praktek e-cognocracy di Indonesia – walaupun tidak disadari hal itu sebagai e-cognocracy karena kemungkinan pemerintah tidak menggunakan metode multi-criteria decision making – adalah ketika begitu massifnya masyarakat Indonesia khususnya di dunia maya dan facebook berpartisipasi penuh kesadaran dalam memberikan masukan pada kebijakan RPM konten Multimedia yang dikeluarkan Kementerian komunikasi dan Informasi.
Ketika RPM konten Multimedia dilemparkan ke ruang publik, banyak kritik dan masukan dari berbagai stakeholder yang akhirnya dapat mempengaruhi proses kebijakan publik tersebut. Ada debat dan diskusi yang membangun di situ. Akhirnya, atas kritik dan masukan berkualitas yang diciptakan oleh interaksi antar masyarakat dan stakeholder di dunia maya, Menkominfo akhirnya membatalkan RPM Konten Multimedia tersebut.
Dengan kata lain, melalui ICT – termasuk memanfaatkan situs jejaring sosial - siapapun dapat memberikan masukan, kritik dan saran terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan ICT pula masyarakat mempunyai kekuatan politik yang sangat besar, bukan sekedar potensi tapi juga tindakan nyata yang dapat merubah tatanan hidup suatu bangsa. E-cognocaracy di Indonesia sudah di mulai!
Anis Fuad adalah Dosen FISIP Untirta dan Pemerhati Tele-Democracy dan E-Government
telah dimuat di Radar Banten, 01 Maret 2010
Namun terselip kabar bahagia, pada beberapa pekan lalu, kedubes Amerika Serikat di Indonesia mengadakan sayembara pencinta Obama lewat Facebook. Situs Facebook Pecinta Obama ini sekaligus menjadi media online resmi untuk meyediakan berbagai informasi tentang kedatangan Obama di Indonesia maret nanti. Hal semacam itu sesungguhnya pernah Obama lakukan dengan memanfaatkan situs jejaring sosial ini sebagai alat kampanyenya di pemilihan Presiden Amerika 2008 lalu. Facebook berhasil memenangkannya sebagai Presiden. Kelatahanpun terjadi di Indonesia. Banyak politisi memanfaatkan facebook sebagai media kampanye mereka di Pemilu 2009 lalu dan juga berhasil.
Facebookpun telah memberikan jasa besar bagi perkembangan demokratisasi di Indonesia. Kita tidak mungkin lupa bagaimana perjuangan Prita Mulya Sari yang dibangun para netter menghantam ketidakadilan hukum di dunia nyata. Istilah cicak dan buaya menjadi terkenal didunia maya dan memunculkan Bibit-Chandra sebagai aktor utama dalam gerakan massif facebooker mendukung perjuangan gerakan anti-korupsi dan kriminalisasi KPK.
Bagi saya, inilah potensi besar Facebook dan beberapa situs jejaring sosial lainnya yang tidak pernah dilirik banyak orang dalam bidang kepemerintahan khususnya penyelenggaraan e-government dan kebijakan publik di Indonesia. Sedikit para pelayanan publik memanfaatkan facebook untuk melayani dan mendekatkan diri pada masyarakat. Facebook hanya digunakan untuk mengobrol, tempat curhat, update status, dan ajang narsisme diri.
Padahal potensi besar Facebook ini mengingatkan pada praktek e-government di Indonesia yang masih jalan ditempat karena berbagai alasan. Dana yang besar untuk membangun infra dan suprastruktur hingga keterbatasan sumber daya manusia. Bagi saya, e-government sesungguhnya tidak perlu rumit dan mahal. Faktor terpenting dalam menjalankan pemerintahan di abad ini adalah kreatif, inovatif dan berfikir efektif serta efisien. Untuk menciptakan partisipasi masyarakat yang begitu massif sesungguhnya tidak membutuhkan biaya mahal. Manfaatkan teknologi yang ada, lihat teknologi apa yang berkembang di masyarakat dan ikutilah arus mereka (masyarakat). Facebook menjawab itu semuanya.
Partisipasi Publik Lewat E-cognocracy
Teknologi Web 2.0 sudah memudahkan pemerintah di Indonesia untuk mengembangkan e-government menjadi lebih mudah dan murah. Lebih memudahkan pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakatnya. Kebijakan publik dengan cara melibatkan masyarakat banyak dalam proses pembuatan keputusan dapat dilakukan melalui media situs jejaring sosial, dimana salah satunya adalah dengan memanfaatkan facebook.
Kondisi inilah yang disebut Piles, dkk (2006) serta Jimenez (2006) sebagai e-cognocracy. E-cognoracy adalah sistem demokrasi terbaru yang berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan di masyarakat yang terkait dengan bagaimana kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara ilmiah sehingga pembuatan keputusan publik dapat dilakukan dengan baik. E-cognocracy menawarkan formulasi khusus untuk menciptakan partisipasi warga Negara (citizen) dalam proses pembuatan keputusan dengan pendekatan Multi-criteria Decision Making.
E-cognocracy adalah sistem demokratisasi terbaru yang bekerja untuk menciptakan peradaban baru yang lebih terbuka, transparan, dan masyarakat yang bebas. Pada waktu yang sama, setiap warga negara saling terkait dan saling terhubung dalam kondisi yang penuh partisipasi, seimbang, saling peduli dan membutuhkan.
E-Cognocracy merupakan jawaban bagi keterbatasan demokrasi tradisional. E-Cognocracy tidak saja menyediakan ruang untuk keterlibatan masyarakat secara luas didalam pemerintahan tapi juga fokus pada proses dimana pengetahuan masyarakat berelasi dengan pemecahan masalah secara ilmiah. E-cognocracy sebagai katalisator proses belajar bersama untuk menciptakan kesadaran (kognisi) politik masyarakat dalam kehidupan bersama, dan internet adalah alat komunikasi pendukungnya.
E-cognocracy adalah kombinasi dari tiga ranah ilmiah yaitu demokrasi sebagai bagian kajian teori politik, teori pengambilan keputusan dan penggunaan ICT sebagai alat komunikasi dan mengkolaborasikan antar stakeholder.
E-Cognocracy mempertemukan model demokrasi representatif - dimana aktornya adalah para politisi yang ada dalam partai politik - dengan model demokrasi langsung dimana setiap warga negara berpartisipasi langsung dalam proses politik.
Masa depan E-cognocracy di Indonesia
Masyarakat maya di Indonesia merupakan masyarakat kritis yang sesungguhnya mempunyai kekuatan besar dalam menciptakan arus demokratisasi di Indonesia. E-cognocracy sebagai demokrasi digital mempunyai peran penting dalam berjalannya praktek kebijakan publik dan pemerintahan yang baik (good governance). E-cognocracy dapat mensejajarkan masyarakat dalam posisi yang seimbang dengan aktor politik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Masyarakat kritis dan saling berbagi sangat diperlukan dalam e-cognocracy. Ada banyak asupan ide sekaligus kritik bagai proses kebijakan publik berkualitas. Ada kesamaan hak disana dan kedudukan yang egaliter diantar warga negara. Facebook bukan lagi milik politisi, artis, mahasiswa dan para eksekutif muda, tapi juga tukang ojek, tukang jamu hingga pembantu rumah tangga.
Mereka dapat mengakses facebook lewat telpon genggamnya. Disitupula potensi demokrasi digital tumbuh dan berkembang untuk memaksa kebijakan publik lebih representatif dan partisipatif. Pemerintah-lah kemudian menjadi jembatan penghubungan bagi semuanya dan situs jejaring sosial semacam facebook-lah sebagai alat penghubung dan pengumpul aspirasi yang paling murah.
Contoh terbaru dan sederhana dari praktek e-cognocracy di Indonesia – walaupun tidak disadari hal itu sebagai e-cognocracy karena kemungkinan pemerintah tidak menggunakan metode multi-criteria decision making – adalah ketika begitu massifnya masyarakat Indonesia khususnya di dunia maya dan facebook berpartisipasi penuh kesadaran dalam memberikan masukan pada kebijakan RPM konten Multimedia yang dikeluarkan Kementerian komunikasi dan Informasi.
Ketika RPM konten Multimedia dilemparkan ke ruang publik, banyak kritik dan masukan dari berbagai stakeholder yang akhirnya dapat mempengaruhi proses kebijakan publik tersebut. Ada debat dan diskusi yang membangun di situ. Akhirnya, atas kritik dan masukan berkualitas yang diciptakan oleh interaksi antar masyarakat dan stakeholder di dunia maya, Menkominfo akhirnya membatalkan RPM Konten Multimedia tersebut.
Dengan kata lain, melalui ICT – termasuk memanfaatkan situs jejaring sosial - siapapun dapat memberikan masukan, kritik dan saran terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan ICT pula masyarakat mempunyai kekuatan politik yang sangat besar, bukan sekedar potensi tapi juga tindakan nyata yang dapat merubah tatanan hidup suatu bangsa. E-cognocaracy di Indonesia sudah di mulai!
Anis Fuad adalah Dosen FISIP Untirta dan Pemerhati Tele-Democracy dan E-Government
telah dimuat di Radar Banten, 01 Maret 2010